Penentuan Jumlah Bilangan Suatu Wirid
Friday, November 16, 2018
Beberapa orang menganggap bahwa seluruh bilangan wirid haruslah ada tuntunan teks ayat atau hadits yang secara literal menunjukkan jumlah tertentu. Mereka menyangka bahwa jumlah bacaan wirid sama saja dengan jumlah rakaat shalat yang sudah ditentukan tanpa sedikit pun boleh dikurangi atau ditambah, apalagi ditentukan sendiri bilangannya. Anggapan seperti ini akan bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku di kalangan kaum muslimin di seluruh dunia di mana terdapat banyak bacaan wirid yang disarankan agar dibaca dalam jumlah tertentu yang tak ditemukan dasar haditsnya, misalnya anjuran membaca shalawat Nariyah sebanyak 4.444 kali. Tak pelak, banyak tuduhan bid’ah yang keluar dari orang-orang yang belum mengerti.
Sebenarnya,
penentuan bilangan suatu wirid tak harus berdasarkan hadits semata,
namun bisa juga ditentukan melalui petunjuk ilham yang didapat hamba
Allah yang shalih. Ini bisa terjadi secara akal dan tidak berlawanan
dengan syariat. Dan, kenyataannya hal semacam ini memang terjadi bahkan
di masa para sahabat. Simak riwayat berikut yang diceritakan dan
dijadikan dalil pembenar oleh Syekh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam
kitabnya yang berjudul Jilâ' al-Afhâm:
عَن
زيد بن وهب قَالَ لي ابْن مَسْعُود رَضِي الله عَنهُ يَا زيد بن وهب لَا
تدع إِذا كَانَ يَوْم الْجُمُعَة أَن تصلي على النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ
وَسلم ألف مرّة تَقول اللَّهُمَّ صل على مُحَمَّد النَّبِي الْأُمِّي صلى
الله عَلَيْهِ وَسلم
"Dari
Zain bin Wahb, Sahabat Ibnu Mas'ud berkata padaku: Wahai Zaid, bila
hari jumat jangan engkau tinggalkan membaca shalawat atas nabi 1000
kali, katakan allahumma shalli ala Muhammad an-nabiyyi al-ummiyyi
shallallahu alaihi wasallam." (Ibnu Qayyim, Jilâ' al-Afhâm, halaman 87)
Amaliyah
wirid yang dianjurkan sahabat Ibnu Mas'ud di atas sama sekali tidak ada
haditsnya, tidak redaksinya dan tidak pula jumlahnya. Yang bisa kita
dapati hanyalah sebuah hadits dlaif (lemah)
yang memerintahkan untuk membaca shalawat sebanyak 1000 kali tanpa
pengkhususan hari tertentu dan hadits dlaif lain yang memerintahkan agar
banyak-banyak membaca shalawat di hari Jumat. Bila kedua hadits dlaif
ini digabung, maka hasilnya adalah sunnah memperbanyak shalawat di hari
jumat, tanpa ada pembatasan bahwa jumlahnya harus seribu dan tak ada
penentuan bagaimana redaksi shalawatnya. Bila memakai konsep bid'ah ala
sebagian kelompok yang berlebihan dalam memahami tema bid'ah, maka
tindakan Sahabat Ibnu Mas'ud ini tergolong bid'ah dan demikian juga
dengan tindakan Syekh Ibnu Qayyim yang menukil dan berhujjah dengan itu.
Namun teori mereka ini salah dan gegabah sehingga tak layak
diperhitungkan. Tentu bukan suatu yang sederhana menganggap amalan
seorang sahabat besar sekaliber Ibnu Mas’ud sebagai bid’ah.
Soal pembatasan jumlah bacaan wirid ini, harus diketahui bahwa ada dua jenis wirid yang berbeda:
Jenis pertama, adalah bacaan wirid yang jumlahnya telah ditentukan secara khusus (muqayyad)
oleh Rasulullah ﷺ dalam bilangan tertentu tanpa ada satu pun hadits
lain yang menunjukkan kemutlakan jumlahnya. Bacaan tipe ini tak boleh
kita modifikasi jumlahnya, jangan dikurangi atau ditambahi bila ingin
mendapat keutamaan sunnah. Contohnya adalah bacaan tasbih, tahmid dan
takbir sehabis shalat yang masing-masing berjumlah 33 kali. Penentuan
bilangan 33 kali ini disebutkan secara literal oleh Nabi Muhammad
sendiri sehingga tak layak kita modifikasi.
Jenis
kedua, adalah bacaan yang jumlahnya dimutlakkan tanpa ada batasan
khusus dari Rasulullah atau ada batasannya namun longgar. Jenis wirid
ini kita bebas membacanya berapa kali sesuka dan sekuat kita setiap
harinya. Dalil dari kebebasan penentuan bilangan ini dapat dilihat dari
hadits berikut:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: " مَنْ قَالَ: حِينَ يُصْبِحُ وَحِينَ يُمْسِي: سُبْحَانَ اللهِ
وَبِحَمْدِهِ، مِائَةَ مَرَّةٍ، لَمْ يَأْتِ أَحَدٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ،
بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ، إِلَّا أَحَدٌ قَالَ مِثْلَ مَا قَالَ أَوْ
زَادَ عَلَيْهِ
"Dari
Abi Hurairah, dia berkata: Rasulullah bersabda: Siapa pun yang membaca
ketika pagi dan sore Subhânallah wa bihamdihi seratus kali, maka tak
akan datang seorang pun di hari kiamat yang membawa amal melebihinya
kecuali seseorang yang membaca semisal itu atau lebih dari itu." (HR.
Muslim)
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
قَالَ: " مَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ،
لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، فِي
يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ، كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ، وَكُتِبَتْ
لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ، وَكَانَتْ
لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ، يَوْمَهُ ذَلِكَ، حَتَّى يُمْسِيَ وَلَمْ
يَأْتِ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلَّا أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ
مِنْ ذَلِكَ
"Dari
Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: Siapa pun yang membaca la
ilaha illallah wahdahu lâ syarîka lahu lahu al-mulku walahu al-hamdu
wahua 'ala kulli syai'in qadîr dalam sehari seratus kali, maka pahalanya
menyamai memerdekakan sepuluh budak dan dicatat seratus kebaikan dan
dihapus darinya seratus kesalahan dan dijaga dari setan di hari itu
sampai sore. Dan, tidak ada seorang pun yang datang [di hari kiamat]
dengan amal yang lebih utama dari orang itu kecuali orang yang membaca
lebih banyak dari jumlah itu." (HR. Muslim)
Dari
redaksi kedua hadits di atas kita bisa tahu bahwa jumlah seratus kali
setiap hari yang diajarkan Rasulullah ternyata bukanlah batasan tetapi
hanyalah sebuah pilihan. Bila ada orang yang setiap hari malah membaca
200, 300, atau semakin banyak wirid yang disebutkan dalam hadits, maka
pahalanya juga semakin banyak sesuai jumlahnya. Karena jumlahnya tidak
ditentukan, maka tidak dibenarkan adanya orang yang menuduh bahwa jumlah
tertentu setiap hari adalah bid'ah.
Harus
dipahami bahwa kemutlakan jumlah itu artinya bebas sebebas-bebasnya mau
dibaca dengan jumlah berapa pun setiap waktunya, mau bilangannya selalu
sama atau tidak. Mau tiap hari dibaca 5 kali, 10 kali 1000 kali, 2000
kali atau berapa pun bebas. Mau dibaca kadang 100 kali, kadang 50 kali,
kadang 20 kali juga terserah. Tak ada alasan untuk menyatakan bahwa
konsisten akan jumlah tertentu semisal selalu seratus kali, selalu
seribu kali atau jumlah lain setiap hari termasuk tindakan bid'ah atau
membuat-buat syariat baru. Justru vonis bid’ah itulah yang malah bid'ah
itu sendiri sebab pelakunya telah menyempitkan makna kemutlakan yang
diberikan oleh Rasulullah ﷺ tanpa adanya izin spesifik dari Rasulullah
ﷺ.
Sebab itulah, para ulama sering sekali
memberikan nasihat untuk membaca bacaan tertentu dengan jumlah tertentu
yang nanti akan berkhasiat tertentu pula. Penentuan redaksi, khasiat,
waktu dan jumlah ini biasanya berdasarkan ilham yang sudah diuji coba
berulang kali, bukan berdasarkan hadits. Yang harus dicatat, tak ada
satu pun jumlah bacaan yang ditentukan ulama berdasarkan ilham tersebut
yang tergolong muqayyad atau sudah ditentukan oleh Rasulullah sehingga memang mubah hukumnya menentukan jumlah tertentu sendiri.
Pertimbangan
lainnya, dalam berbagai hadits dijelaskan bahwa kaum muslimin
diperintah agar menjaga keistiqamahan (konsistensi dalam beramal baik).
Juga disebutkan bahwa Allah kurang menyukai apabila seseorang melakukan
suatu amal kebaikan lantas kendor atau putus di tengah jalan. Salah satu
redaksi haditsnya demikian:
فَإِنَّ اللهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا، وَأَحَبُّ الدِّينِ مَا دُوِمَ عَلَيْهِ
“Maka
sesungguhnya Allah tidaklah kendor [dalam memberi pahala] hingga kalian
menjadi kendor [untuk melakukan amal] dan amal agama yang paling
disukai adalah apa yang dilakukan terus-menerus (istiqamah).” (HR. al-Baihaqi)
Untuk
mengukur kadar keistiqamahan atau kekendoran suatu wirid tentu saja
harus dihitung dengan jelas berapa jumlahnya setiap hari. Tanpa hitungan
yang jelas, tak mungkin hal ini dapat diketahui pengamalnya. Tentu saja
penentuan jumlah bilangan dengan niat semacam ini tak bisa masuk dalam
kategori bid’ah menurut teori manapun atau perspektif siapa pun. Justru
inilah cara untuk merealisasikan perintah agar istiqamah dalam berdzikir
tersebut. Wallahu a'lam. (NU Online)
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja NU Center Jember.