Pembantai Kiyai dan Guru Ngaji (Melawan Lupa)
Tuesday, February 06, 2018
Maraknya
orang-orang yang memburu kiyai atau ustadz mau dibunuh sekarang ini, mengingatkan
saya dengan ninja pembantai para kiyai dan guru ngaji NU tahun 1998 M. Tulisan
ini saya ambil dari NU Online, sekedar untuk pengingat-ingat, kalau dulu ada NPKG
(Ninja Pembantai Kiyai dan Guru ngaji)
Sepanjang
tahun 1998, masyarakat NU di Jawa Timur, khususnya di Banyuwangi dan
sekitarnya, mengalami kegetiran luar biasa. Di kantong-kantong NU di wilayah
ini terjadi gelombang pembunuhan atas guru-guru ngaji NU dengan kedok
“menghabisi dukun santet”. Para pembunuhnya adalah orang-orang misterius dengan
berpakaian ninja.
Saat
terjadi pemubunuhan berantai para guru ngaji NU ini, Presiden Soeharto baru
saja lengser. Jabatannya sebagai presiden digantikan oleh Wakil Presiden BJ
Habibie, orang dekat Soeharto. Habibie juga menjadi orang nomor satu di ICMI,
organisasi yang sejak awal didirikan telah dikritik oleh Ketua Umum PBNU saat
itu, Gus Dur, namun tidak mewakili aspirasi kalangan Nahdliyin.
Gelombang
pembunuhan berantai ini menimbulkan provokasi di kalangan msyarakat bawah NU.
Tujuannya agar masyarakat melakukan tindakan kekerasan. Provokasi ini tidak
berhasil secara baik.
Awalnya
pembunuhan dilakukan terhadap dukun santet oleh orang-orang terlatih. Mereka
bergerak cepat dari kampung ke kampung. Sang pembantai segera setelah itu
menghilang. Tampak sekali para pembunuhnya adalah pasukan terlatih. Hanya ada
dua kemungkinan, mereka yang terlatih adalah para jawara atau pasukan khusus
militer.
Segera
setelah itu, pembunuhan beralih terhadap guru-guru ngaji di kalangan Nahdliyin.
Hal ini tentu menimbulkan keresahan, simpang siur, saling tegang, dan curiga di
kalangan bawah NU. Atas kejadian getir itu, PWNU Jawa Timur membentuk Tim
Investigasi PWNU. Tim ini diketuai oleh Choirul Anam. Tim melakukan investigasi
berbulan-bulan untuk mengungkap kejahatan pembantaian atas para ngaji NU ini.
Data
dan fakta yang berhasil dikumpulkan benar-benar menggetirkan. Korban tewas
jumlahnya sangat fantastis, yaitu 253 orang. Mereka dibantai di desa-desa di
tujuh kabupaten di Jawa Timur. Secara bergelombang pembantaian dilakukan di
Banyuwangi, Jember, Situbondo, Bondowoso, Pasuruan, Pamekasan, dan Sampang.
Korban tewas terbanyak ada di Banyuwangi, yaitu 148 orang.
Dalam
temuan Tim, mereka yang mati dibantai secara sadis. Ada yang digantung, dijerat
dengan tali, dibakar bersama rumahnya, dipukuli lalu dibacok, dibakar dengan
bensin, dan dianiaya massa. Sebagian besar yang mati itu adalah para guru ngaji
dan warga NU. Bahkan di antaranya ada pengurus ranting NU dan pengurus masjid.
Temuan
penting lain dari Tim adalah adanya keterlibatan sejumlah pejabat setempat
dalam pembunuhan berantai tersebut. Yang disebut-sebut adalah Bupati Banyuwangi
T. Purnomo Sidik, Komandan Kodim Letnan Kolonel Subiraharjo, dan Kepala Polres
Banyuwangi Letnan Kolonel Edy Moerdiono.
Salah
satu bukti kuat yang ditemukan Tim adalah fotokopian radiogram Bupati yang
ditujukan kepada para kepala desa. Radiogram ini dikirim lewat para camat di
wilayahnya, tertanggal 10 Februari 1998, bernomor 300/70/439.0131/ 1998.
Instruksi radiogram itu adalah agar aparat di bawah mendata orang-orang yang
diduga berpraktik sebagai dukun santet. Hasilnya adalah adanya daftar mereka
yang dianggap sebagai dukun santet.
Daftar
ini jatuh ke tangan khalayak umum. Daftar ini menjadi salah satu pemicu
gelombang kekerasan yang berujung pada pembunuhan para guru ngaji. Jumlah
korban melonjak drastis selama bulan Juli, Agustus, dan September 1998. Ada
seratusan lebih korban, termasuk sejumlah guru ngaji dan ulama setempat.
Para
pelakunya sangat profesional dan bukan penduduk setempat. Pelakunya adalah
orang-orang berpakaian ala ninja yang beroperasi secara rapi dan sistematis.
Tim Investigasi PWNU menemukan provokatornya ternyata terdiri dari para
gerombolan preman dan bromocorah. Salah seorang yang pernah disebut Choirul
Anam dalam memaparkan temuan investigasinya adalah Agus Indriawan. Ia adalah
preman yang sehari-harinya berprofesi sebagai calo pengujian kendaraan bermotor
di Kantor DLLAJ Banyuwangi. Kelompok Agus ini merekrut para pembantai yang
berasal tidak hanya dari Banyuwangi. Ada yang datang dari Surabaya dan
sekitarnya.
Laporan
Tim Investigasi PWNU menyebutkan rekrutmen komplotan Agus dilakukan secara
terencana dan rahasia. Para pembantai direkrut sebagai pembunuh bayaran. Uang
imbalannya ada yang sebesar Rp 500.000 sampai Rp 1 juta. Di berbagai tempat,
untuk memudahkan para pembantai melaksanakan tugasnya, komplotan itu memberikan
rambu khusus. Setiap calon korban di sekitar rumahnya diberi tanda panah merah.
Menandakan sang korban harus dibantai.
Ketika
isu ini menghangat dan praktik-praktik pembunuhan terus terjadi, harian
Republika (1 Oktober 1998) yang dekat dengan ICMI memuat berita sensasi. Koran
ini menuduh orang-orang eks-Partai Komunis Indonesia (PKI) membayar orang-orang
untuk membunuh sejumlah dukun santet di Banyuwangi. Padahal yang dibunuh adalah
para guru ngaji NU, sehingga berita ini membuat penyesatan.
Sepanduk-sepanduk
atas nama DDII yang didirikan orang-orang eks Masyumi bertebaran di berbagai
jalan besar. Mereka menuduh dan mengingatkan munculnya bahaya komunis. Tuduhan
ini sama dengan yang dilakukan militer. Saat itu militer menggunakan pola
stigma komunis untuk menciptakan kesimpangsiuran dan mengalihkan siapa pelaku
sebenarnya.
Dandim
0825 Banyuwangi Letkol (Inf.) Subihardjo dalam dialog masalah santet di Polres
Banyuwangi pada 23 September 1998 mengemukakan hal yang sama. Bahkan Kepala
Kepolisian RI mengatakan bahwa pola tindakan para pelaku pembantaian disusupi
gerakan PKI. Di sini tampak adanya saling dukung analisis yang sangat sistematis.
Analisis seperti itu tidak dipakai oleh Tim Investigasi PWNU. Ketika diadakan
penyelidikan lebih jauh ternyata ada beberapa anggota ABRI yang terlibat dalam
pembantaian keji tersebut. Paling tidak ada dua oknum anggota ABRI yang diduga
tersangka dalam pembantaian di Banyuwangi.
Majalah
D&R edisi No. 017, 12 Desember 1998, juga mencatat keterlibatan empat oknum
anggota ABRI. Sayangnya pihak ABRI membantah keterlibatan empat oknum tersebut.
Melalui siaran pers pada 10 Oktober 1998 bantahan itu dilakukan. Padahal Kepala
Direktorat Reserse Polda Jawa Timur telah memberi keterangan kepada pers pada 9
Oktober 1998 tentang penangkapan empat oknum ABRI. Jadi, kesan menutupi adanya
keterlibatan anggota ABRI tampak terang.
Gus
Dur sebagai Ketua PBNU benar-benar geram melihat kenyataan itu. Namun ia tetap
hati-hati. Gus Dur menyerukan agar orang NU tidak sembrono menuduh ada
penyusupan komunis meskipun hal itu telah dilontarkan dan provokasi oleh
Republika dan dikampanyekan militer. Seruan Gus Dur kemudian dibacakan oleh KH
Said Aqil Siradj di halaman Kampus UI, Salemba, Jakarta, pada 1 Oktober 1998.
KH
Sad Aqil Siradj mengingatkan agar orang-orang NU tidak menjadi korban terus.
Masyarakat NU jangan mau menjadi objek yang dihadap-hadapkan dengan sosok yang
dibuat-buat. Padahal kenyataannya pelakunya sangat terlatih, bukan bayangan
yang dibuat-buat. Seruan ini untuk mengritik tuduhan para pejabat dan harian Republika
yang dekat dengan ICMI, serta spanduk-spanduk DDII. Mereka mengaitkan
pembunuhan berantai itu dengan gerakan komunis.
Pada
14 Oktober 1998 tokoh-tokoh NU mengadakan rapat di Tuban yang diikuti lebih
dari 2.000 kiai. Mereka bertemu dengan para pejabat kaamanan dari Jawa Timur.
Para kiai langsung menghujani pertanyaan kepada para pejabat dan mereka
menyebutkan bahwa pejabat keamanan memberi dukungan dalam pembunuhan berantai
guru ngaji NU itu.
Peristiwa
ini kemudian menimbulkan sebuah analisis adanya operasi tertentu. Gus Dur
setelah itu menyebut adanya Operasi Naga Hijau. Yang menjadi korban adalah
warga NU menjelang Pemilihan Umum 1999. Adanya penggunaan isu komunis
dimaksudkan untuk menggilas orang-orang NU dan mengaduk-aduknya. Pengipasnya
antara lain Republika dan spanduk-spanduk DDII yang memperoleh angin karena
Habibie saat itu sedang menjadi presiden.
Kasus
pembantaian para guru ngaji ini oleh Komnas HAM pernah hendak diselediki
kembali. Pada 2007, ada niat untuk menjadikan kasus ini berindikasi kuat
pelanggaran HAM. Tapi hasilnya tidak menunjukkan kemajuan apa pun. Kejahatan
pembantaian atas para guru ngaji sampai sekarang diingat sebagai salah satu
tragedi menggetirkan bagi warga NU, sekaligus menunjukkan penyelesaian yang
tidak jelas atas kejahatan tersebut. (Nur Kholik Ridwan). Sumber
: NU.or.id